Sianida

morning-vibes

Challenge from Fajrin: “Sianida” [W-9]

Seorang pelayan menghampiriku ketika aku baru saja duduk, menyodorkan sebuah buku menu. Aku memilih kopi.

Sambil menunggu, pandangan kuedarkan ke sekeliling kafe. Kafe ini lumayan besar tapi tak banyak pengunjungnya. Diam-diam aku bersyukur memilih kafe ini. Suasanya sepi dengan alunan musik mellow, pas untuk mengobrol.

“Huh, jangan gugup Nis, jangan,” kataku sambil menarik nafas dalam-dalam.

Kulihat di depanku tampak seorang perempuan muda sedang sibuk dengan laptopnya. Beberapa buku tebal memenuhi mejanya. Sesekali dia menyuap french fries di samping laptopnya. Telponnya berbunyi.

“Gue lagi di kafe nih. Iya, kafe si Jessica,” katanya menyahut di balik telponnya.

Kuedarkan juga pandangan ke sudut lain. Ada dua orang perempuan sedang asyik mengobrolkan sesuatu dari salah satu gadget mereka. Samar-samar kudengar nama yang sama seperti yang dibilang perempuan sebelumnya.

“Iya, si Jessica kan?” begitu katanya. Oh, jadi pemilik kafe ini namanya Jessica. Aku mengangguk-angguk.

Salah satu perempuan itu menengok ke arahku. Seketika aku jadi salah tingkah, seolah habis ketangkap basah menguping pembicaraan mereka. Tapi, perempuan di sebelahnya menunjuk sebuah bunga besar yang dipajang di depan mejaku. Rangkaian bunga itu memang aneh. Bunganya sangat cantik karena kelihatannya itu bunga hidup tapi aneh kenapa diletakkan di situ. Padahal sudah banyak bunga pajangan di kafe ini. Space untuk bunga itu juga terlalu besar. Cukup untuk satu meja dan empat kursi. Bunga yang penuh misteri. Hmm…

Seorang perempuan baru saja membuka pintu kafe. Kulihat matanya mencari sesuatu ke kiri dan kanan. Aku melayangkan tangan memberi kode. Langkahnya semakin dekat. Kegugupanku timbul lagi. Gugup. Gugup sekali.

“Hai, mmm… silakan duduk,” kataku terbata-bata membuka pembicaraan.

Dia pun duduk dan meletakkan tasnya di bangku di meja kami yang kosong. Lalu ditenggaknya minuman dari tumbler berwarna merah itu. Ah, tumbler itu masih dipakainya, kataku dalam hati sambil memperhatikannya.

Kini, dua orang sedang duduk bersama berhadapan. Tapi tak ada pembicaraan sepatah katapun. Hening. Sepi. Kaku sekali. Atau hanya aku yang gugup? Kuseruput kopi yang kupesan  untuk menghilangkan kegugupan itu.

“Kamu mau pesan…” belum selesai aku bicara, secara bersamaan dia juga bicara untuk pertama kalinya. Aku jadi salah tingkah.

“Ya, kenapa? Kamu dulu,” kataku.

“Sorry, terlambat. Tadi harus menghadiri sidang vonis Jessica dulu,” katanya dingin.

“Jessica? Siapa sih dia, kenapa orang-orang pada ngomongin?”

“Kamu nggak tau Jessica? Dia tersangkut kasus kopi sianida. Kopi yang barusan kamu minum ditaburi sianida lalu diminum temannya. Di kafe ini, setahun lalu,” katanya yang membuatku tersedak.

“Hah?” batukku semakin menjadi. Sambil menyodorkan tumblernya dia tertawa terbahak-bahak lantas menunjukkan sesuatu dari handphonenya.

“Bacalah. Polisi menetapkan pelakunya Jessica divonis 20 tahun dan korbannya meninggal,” katanya setengah berbisik. Membuatku bergidik.

Aku serius membacanya. Antara kaget, kasihan, ngeri, dan juga senang. Bagaimana pun kegugupanku sirna karena insiden kopi sianida ini. Kulihat dia tak habis-habisnya tertawa melihat ekspresi kagetku. Barangkali selama ini aku juga sudah meracunimu dengan sianida, meninggalkanmu tanpa kabar. Kamu pasti sangat tersiksa dan mungkin hatimu yang dulu untukku juga sudah mati? Aku tak tau bagaimana kamu bisa tertawa seperti ini bahkan di pertemuan pertama kita setelah empat tahun aku pergi.

“Kalaulah detik ini aku meninggal karena kopi ini, paling tidak aku senang sudah melihat tawamu saat ini, Dinar,” kataku dalam hati sambil sesekali melihat matanya. Dia masih saja tertawa.

One thought on “Sianida”

Leave a comment