Challenge from Fajrin: “Jelaga Merah” [W-11]
Lampu panggung yang sejak sejam lalu begitu patuh menjalankan tugasnya menyinari berbagai sudut panggung secara bergantian kini mulai perhalan meredup hingga gelap total. Tak ada yang terlihat sama sekali. Biasanya momen seperti ini adalah waktu bagi mereka untuk ganti kostum.
Tidak berapa lama kemudian, lampu perlahan menampakkan semua personel yang tengah naik lagi panggung. Tapi tetap saja, ruangan ini lebih banyak gelapnya dibanding terang.
Memang, kebanyakan konser, yang disorot itu pasti artisnya di panggung. Bukan penontonnya. Sungguh sebuah ironi. Kita bisa melihat mereka karena cahaya yang menyorot mereka. Tapi apakah mereka juga melihat kita yang sudah berjuang untuk melihatnya? Tentu, kemungkinan itu selalu ada. Tapi peluangnya sangat tipis.
Aku berada di antara mereka yang menengadahkan pandangannya ke atas panggung sambil berteriak histeris. Tapi barangkali aku satu-satunya yang tak berteriak dengan lantang.
“Masiiiih…” suara keras memenuhi stadion ketika sang vokalis melontarkan tanya apakah masih semangat atau tidak bernyanyi bersama mereka. Keadaan semakin riuh ketika front man yang memakai kaos putih itu akan memilih satu penonton beruntung naik ke atas panggung.
Entah bagaimana caranya, aku menjadi penonton yang terpilih setelah lampu panggung menyorotku. Padahal posisiku berada sangat jauh dari center panggung. Aku berada di tribun paling atas. Ah sial kenapa lampu itu sampai ke sini?
Di atas panggung, bassist bertanya kenapa vokalis memilih menyorotku. Vokalis berperawakan tinggi itu mengatakan, dia ingin menyentuh fans-fans yang menonton dari posisi yang tak strategis.
“Pastinya sulit bagi mereka yang menonton di sekitar tribun atas. Aku tau itu karena aku juga seorang fans untuk band di Inggris. Aku mencoba memahami mereka,” kata-kata itu pun disambut riuh fans yang merasa idolanya sangat pengertian sekali pada fans.
Sebagaimana pembawaan seorang vokalis yang harus aktif, menarik, humoris, dia pun bertanya kepadaku kenapa aku menonton konsernya dengan memakai masker.
“Kamu bukan penyusup kan? Mmm,” katanya menyipitkan matanya seolah curiga. Tapi detik kemudian dia tertawa sambil merangkul bahuku. Terdengar suara di bawah panggung riuh.
“Soooo… silakan perkenalankan nama kamu, siapa?” sambil mendekatkan mic-nya kepadaku.
Kubuka masker itu. Seketika mata vokalis itu tak berkedip. Untuk sesaat dia tertegun melihatku.
Kata orang, jika sedang jatuh cinta, dunia seakan milik berdua dan manusia yang lainnya hanya numpang saja. Menjadi penonton atas kemesraan pasangan itu. Tapi aku yakin ini, jika panggung ini adalah sebuah drama, maka semua penonton di stadion itu pun sebagai orang yang menyaksikan kami berdua. Bedanya, aku bukan kekasihnya, dia juga bukan kekasihku. Aku juga tak yakin apakah aku berdiri di sini sebagai fansnya atau benar katanya, sebagai penyusup yang diam-diam.
Tapi untuk apa aku menyusup?
Mic yang dipegangnya jatuh, membuyarkan lamunanku.
“Sorry… sorry. Kamu… kamu siapa?” telisiknya.
Aku? Aku ini siapa. Kenapa aku berdiri di sini. Kenapa aku memutuskan kembali menonton konser mereka. Konsermu untuk kesekiankalinya. Aku ini siapa? Ah, kehadiranku sungguh seperti jelaga merah yang asapnya hitam. Perlahan menghilang di udara apinya terasa masih memanasi hatiku bertahun-tahun lamanya.
Untuk pertama kalinya aku ingin cahaya di atas panggung ini berubah gelap gulita.